I. AWAL PERISTIWA
PERANG DIPONEGORO : 1825 – 1830.
Perang Jawa, perang melawan Belanda di Jawa.
Pada
sekitar abad ke 18 , penjajah Hidia Belanda dengan melalui perusahaan
dagangnya VOC ( Verenigde Oost indische Compagnie ) sedang melebarkan
kekuasannya untuk mengelolah dan memiliki perkebunan rakyat terutama
rempah rempah dan beras diseluruh Indonesia termasuk di Jawa &
Sulawesi – Maluku.
Pangeran Diponegoro
Pada waktu itu di Jawa
berdiri satu kerajaan Jawa peninggalan Kerajaan Mataram yakni Kerajaan
Jokyakarta ( Sekarang Jokyakarta - tetap) termasuk juga daerah Surakarta
( Solo ) dan diberi nama Kesultanan.
Orang pertama yang menjabat
sebagai Sultan adalah Hamengkubuwono I, dan pada masa terjadi perang
Diponegoro maka Joyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono V.
Penjajah
Belanda melihat, karena Jokyakarta pada waktu itu sebagai lumbung beras
utama di Jawa, maka harus dikuasai melalui VOC nya, dan terjadilah
pematokan persawahan milik rakyat, yang kemudian diklaim sebagai milik
pemerintah penjajah Belanda.
Salah satu Pangeran dari kesultanan
Jokyakarta pada waktu itu yang bernama Pangeran Diponegoro*) tidak tahan
dan emosi melihat rakyatnya diperlakukan demikian oleh Belanda.
Pangeran
Diponegoro dengan nama lahir Raden Mas Ontowiryo adalah putra sulung
dari sultan Hamengku Buwono III, lahir 11 November 1785.
Emosi
Pangeran Diponegoro tak terbendung ketika pematokan dilaksanakan Belanda
pada sawah sawah rakyat terlebih lagi melintasi kompleks pekuburan
bekas Raja Raja Jawa, yang merupakan makam makam leluhurnya.
Rakyat yang mempergunakan jalan jalan yang ada untuk transportasi perdagangan dibebankan pajak yang tinggi oleh Belanda.
Pada
waktu itu sebagai Raja ( Sultan ) Jokyakarta adalah sultan
Hamengkubuwono V yang dinobatkan ketika baru berumur 3 tahun, jadi untuk
sementara pemerintahan dijalankan oleh kerabat Keraton HB IV.
Pemeritahan
sementara kesultanan ini tidak berdaya, karena ternyata kekuasaan yang
sebenarnya terselubung dan berkoloberasi dengan Pemeritahan Kolonial
Belanda.
Kyai Mojo
Selanjutnya, Pangeran Diponegoro menyusun rencana untuk melawan penjajahan Belanda.
Beliau
mengontak dan mengajak Kyai Mojo ( Ulama Islam) yang sekaligus gurunya
dalam bidang spiritual agama Islam, juga sebagai pamannya, yang mempunya
banyak pengikut dan disegani, serta , Tumenggung Zees Pajang Mataram,
Tumenggung Reksonegoro.
Selain itu juga Pangeran Diponegoro mengajak Sentot Prawirodirdjo,18*), seorang pemuda yang pemberani.
Sentot Prawirodirdjo
Ayahnya
bernama Ronggo Prawirodirjo adalah ipar Sultan HB IV, adalah pembrontak
melawan Belanda tapi berhasil dibunuh oleh Daendles.
Dengan kematian ayahnya, Sentot Prawirodirdjo merasa dendam kepada Belanda.
Beberapa
saat kemudian pada tahun 1825 berkobarlah Perang Jawa ( Diponegoro )
untuk melawan penjajahan Belanda, dimana perang tersebut sangat sulit
diatasi Belanda dan memakan korban yang cukup besar dikedua belah pihak
dan sudah berlangsung hampir 5 tahun.
Perang Jawa ini banyak memakan
korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan
Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa,sehingga mengakibatkan
penyusutan penduduk Jawa pada waktu itu.
*) Sentot Prawirodirdjo
berhasil dibujuk Belanda, dan dikirim Belanda dan meletakkan senjata
pada tanggal 17 October 1829, dan dikirim Belanda ke Sumatra Selatan
untuk melawan pembrontakan para ulama dalam perang”Padri”, kemudian
wafat di Bengkulu pada tanggal 17 April 1855 dalam usia 48 tahun.
Jendral
De Cock naik pitam oleh karena walaupun dia punya banyak serdadu akan
tetapi dia tidak bisa memadamkan pemberontakan itu dan akhirnya mendapat
kecaman dari atasannya di Batavia ( Jakarta ).
Suatu saat selagi
perang berkecamuk Pangeran Diponegoro terluka tertembus peluru, yang
kemudian beliau menunjuk Kyai Mojo sebagai Panglima Perang dan Pangeran
Mangkubumi sebagai Komandan Lapangan.
II. PENANGKAPAN KYAI MODJO
Jedral De Kock panasaran, sudah hampir 4 tahun dia tidak berhasil memadamkan pembrontakan Diponegoro!
Untuk menaklukan Diponegoro maka dia lalu menerjunkan intelejennya yang terlatih untuk menganalysa kelemahan Pasukan Diponegoro.
Dari
hasil pengamatan intelejennya dan setelah dilakukan analysa yang cermat
diambil kesimpulan bahwa kekuatan atau pilar utama Pasukan Diponegoro
terletak pada Kiay Modjo yang merupakan wakilnya dan menangkap sebagai
Panglima Perang.
Berdasarkan hasil kajian tersebut maka Jendral De
Kock harus menaklukkan Kyai Mojo terlebih dahulu dan harus dilumpuhkan,
karena dialah sebagai Panglima Perang disamping penasehat Spiritual
Diponegro.
De Kock merencanakanakan tipu muslihat untuk menangkap Kyai Mojo melalui undangan kepada Kyai Mojo untuk berunding.
Perundingan dapat dilaksanakan pada tanggal 31 October 1928 di desa Melangi Jokyakarta,tapi perundingan gagal.
Belanda
membujuk lagi Kyai Mojo atas inisiatif Gubernur Jeneral Du Bus untuk
berunding yang kedua kalinya, ( dalam perundingan ini apabila gagal maka
Kyai Mojo harus ditangkap ).
Selanjutnya perundingan yang ke dua
kalinya dilaksanakan pada tanggal 12 November 1928, di desa Kembang Arum
Jokyakarta, dan gagal lagi.
Ditempat inilah Kyai Mojo dan pasukannya
sekitar 500 orang dikepung oleh militer Belanda, yang dipimpin oleh
Kolonel Le Bron, kemudian ditangkap dan dilucuti senjatanya.
Du Bus
Apabila hal ini terjadi pada saat sekarang ini, pada zaman modern, maka peristiwa ini adalah suatu kejahatan perang.
Konon
khabarnya ( ? ) dalam peristiwa penangkapan Kyai Mojo ini Belanda
mendatangkan ke tanah Jawa tentara Belanda Pribumi dari Manado dan Ambon
( baca Minahasa pada abad 18 ), pada halaman 16 buku ini.
Kyai Mojo
dengan sangat marah mempertanyakan hal ini kepada Lekol Le Bron, yang
kemudian ia menjawab, bahwa hal ini terpaksa dilaksanakan atas perintah
atasannya.
Penangkapan Kyai Modjo
Dalam kondisi ini kemudian
atas permintaan Kyai Mojo, sebahagian besar pasukannya dibebaskan
Belanda, dan hanya kerabat kerabatnya yang ditahan Belanda sebagai
tawanan perang.
Raja Belanda Willem 1 mengirim Komisaris General Du
Bus de Gisiegnies menggantikan Van der Cappellen ( yang memerintah
Hindia Belada ) dengan buruk yang mengakibatnya timbulnya perang
Pangeran Diponegoro.
Tugasnya yaitu memulihkan keamanan di Jawa, sehingga VOC dengan aman melakukan transaksi perdangannya.
dibawah
ke Semarang disertai residen Jokyakarta waktu itu, Van Dengan
pengawalan ketat oleh pasukan Belanda akhirnya Kyai Mojo dan rombongan
Nes, melalui jalan darat.
Sesampainya di Semarang selanjutnya mereka
diangkut dengan kapal Korvet Belanda ke Batavia ( Jakarta ) untuk
menemui Gubernur Jedral Du Bus.
III. PENANGKAPAN PANGERAN DIPONEGORO
Dengan
ditangkapnya Kyai Mojo, memberikan pukulan sangat berat kepada Pangeran
Diponegoro, oleh karena Kyai Mojo merupakan Pilar Utama dalam perang
Diponegoro.
Berbulan bulan Du Bus membujuk Kiay Mojo untuk meminta
Diponegoro agar mau berunding, dan akhirnya disuatu saat Kiay Mojo
mengirim surat ke Diponegoro untuk berunding.
Surat itu diatar 3
orang yaitu kapten Roeps yang fasih bahasa Jawa, Haji Ali & Kiay
Hasan Besari ( dengan catatan kemudian setelah dilokasi mereka akan
berjuang sendiri lagi ).
Pada waktu bersamaan De Kock berusaha
menangkap Diponegoro seperti yang telah dilakukan terhadap Kiay Mojo,
agar supaya dia dapat melaporkan ke Raja Willem 1, sehingga dapat
mendepak Du Bus ( menggantikannya ).
Penangkapan P.Diponegoro
Mengingat kondisi Pangeran Diponegoro waktu itu dalam keadaan terdesak, Pangeran Diponegoro bersedia berunding.
Perundingan direncanakan di Magelang, gagal karena bulan puasa.
Perundingan berikutnya diadakan di pada tanggal 28 Maret 1830 saat Idhul Fitri.
Perundingan
tidak mencapai kesepakatan, dan pada saat itulah Pangeran Diponegoro
ditangkap oleh pasukan Belanda pimpinan de Kock.
Pangeran Diponegoro ditawan, lalu dibawa ke Ungaran Semarang, kemudian ke Batavia.
Pada
tanggal 8 April 1830 Pangeran Diponegoro sampai di Batavia dan
ditempatkan di Stadhuis, kemudian pada tanggal 3 Mei 1830 Pangeran
Diponegoro dan rombongannya diberangkatkan dengan kapal perang Pollux ke
Manado.
Di Manado ditempatkan di Benteng Amsterdam selama 4 tahun.
Pangeran
Diponegoro oleh Belanda tidak disatukan dengan Kyai Mojo di Tondano
karena dianggap Belanda sangat berbahaya, hanya sekali saja sempat
bertemu dengan Kyai Mojo.
Oleh karena Belanda menganggap penjagaan di
Manado tidak cukup kuat, maka Pangeran Diponegoro dipindahkan di
Benteng Rotterdaam Makassar pada tahun 1834, sampai wafatnya pada
tanggal 8 Januari 1855 dalam usia 78 tahun.
IV. KYAI MOJO DIASINGKAN KE MINAHASA
Untuk
menghindari kemungkinan Kiay Mojo dan rombongan kembali ke Pajang untuk
bergabung kembali dengan Pageran Diponegoro, Du Bus telah merencanakan
untuk mengasingkan mereka ketempat yang jauh, dan dipilih Minahasa di
Ujung Sulawesi, yang pada waktu itu negeri ini belum lama dikuasai
Belanda ( 1829 ).
Pemilihan tempat ini juga berdasarkan permintaan
dari Residen dari Manado untuk mengirimkan tenaga tenaga ahli di bidang
pertanian dari Jawa untuk membuat persawahan dimana hasilnya dapat
mengisi uang kas keresidenan yang agak parah pada waktu itu.
Selanjutnya untuk pelaksanaan rencana tersebut, dilaksanakan beberapa tahapan.
Tahap 1.
Dari Kembang Arum Kyai Mojo dan pengikutnya dibawa ke Semarang.
Pengadilan Tinggi Belanda memutuskan bahwa Kyai Mojo sebagai tahanan politik.
Hasil
sidang Pengadilan Tinggi adalah ( surat dari Menteri Negara Komisaris
Jendral tanggal 1 Desember 1828 kepada Letnan Gubernur Jendral):
Kyay Mojo dan pengikutnya dipenjara dalam bentuk tahanan rumah.
Ir.Tromp ditunjuk sebagai pelaksana pembangunan “rumah tahanan” tersebut.
Menyiapkan 25 orang serdadu Ambon secara bergantian menjaga rumah tersebut.
Tahap 2.
Kemudian setelah beberapa lama di Semarang Kyai Mojo diangkut dengan kapal perang Belanda”Mercury” ke Batavia.
Berdasarkan
surat Kapten Laut Komandan dan Direktur Kelautan Hindia Belanda kepada
Gubernur Jendral tanggal 1 Desember 1828 No.231N/3116K:
Pengurusan
Kyai Mojo,dan pengikutnya, ditempatkan di kapal Fregat De Belona dan
satu kapal tunggu untuk kemudian dinaikkan ke kapal perang Belanda
Mercury, dengan pengawasan militer.
Memperlakukan tawanan dengan baik sesuai perjanjian antara Kepala Hakim dan Komandan Fregat De Belona.
Kapal perang Mercury yang mengangkut tawanan Kyai Mojo dikawal 2 kapal fregat De Belonana dan Anna Paulona.
Tahap 3.
Tanggal 3 Desember 1928 tiba di Batavia.
Sesuai dengan kesepakatan semua pihak, maka tawanan diperlakukan dengan baik serta diperhatikan kebutuhan sehari harinya.
Hal ini perlu dilakukan karena Kyai Mojo masih mempunyai pengaruh yang sangat kuat.
Karena
dianggap berbahaya oleh Belanda maka sewaktu berada di Batavia, tidak
ditempatkan di gedung penjara menyatu dengan dengan tahanan biasa, tapi
ditempatkan di “kantor baru” sebagai tahanan rumah.
Dikemudian hari ternyata tempat ini, adalah tempat menunggu untuk pengasingan terakhir ke Minahasa.
Oleh
karena tahanan politik ini sangat istimewa maka semua kebutuhan hidup
sehari hari Kyai Mojo dan pengikutnya ditanggung oleh pemerintah
kolonial Belanda dengan biaya yang cukup mahal pada waktu itu.
Sebagai pemasok kebutuhan tersebut adalah Kapten Cina bernama Jap Soan Kho.
Adapun biaya tersebut sesuai laporan sekertaris penjara tanggal 3 Desember 1828 adalah:
1. Daging ayakm, ikan, daging sapi F 23
2. Sayur sayuran 5
3. 6 botol minyak kelapa 3
4. Macam macam bumbu sayur 4
5. Buah buahan 5
6. ¼ canting garam 0,183/4
7. 9 roti 2
8. 3 pon mentega 2
9. ½ keju 1,25
10. Kue kue pribumi 8
11. ½ canting kopi 1
12. Gula 2
13. The 1
14. 10 canting nasi 2,50
15. ½ ikat kayu bakar 5
16. Sirih, pinang,kapur sirih 2,5
17. 5 botol minyak lampu 2,5
Jumlah F 73,4 33/4
Selain itu ada lagi kebutuhan biaya sebesar F492, untuk pengadaan pakaian Kyai Mojo dan pengikutnya,
Selama
berada di Batavia Belanda sudah menghabiskan biaya total F3051,15 yang
ditanggung pemerintah kolonial Belanda sebagai biaya perang.
Tahap 4.
Selanjutnya
setelah kurang lebih setahun Kyai Mojo dan rombongannya di Batavia
disatu saat pagi yang cerah dipelabuhan Batavia sekarang Tanjung Priuk,
bulan October 1829, telah bersandar sebuah kapal perang Belanda ( fregat
) Thalia, yang telah dihiasi dengan hiasan klasik Jawa ala Kraton.
Dari Dermaga sampai ke Kapal telah ditebarkan karpet yang mengingatkan kejayaan kerajaan Mataram dulu.
Kemudian
Du Bus memanggil Kiay Mojo melalui ajudannya menemuinya dan mengundang
menghadiri acara ramah tama diatas geladak kapal korvert tersebut
bersama dengan Admiralnya.
Kiay Mojo langsung berfikir mencari alasan
untuk menolak undangan tersebut karena dia tidak suka dengan acara
tersebut yang berfoya foya dan huru hara.
Akan tetapi sebelum
menemukan alasannya sudah muncul berderet kereta kereta yang akan
mengangkut mereka ke kapal yang dipimpin oleh residen Jokyakarta Van
Nes.
Dengan kondisi yang tiba tiba itu dan terdesak akhirnya Kiay
Mojo dan rombongannya naik kreta menuju ke Kapal didampingi oleh Residen
Jokyakarta Van Nes.
Van Nes tidak hanya mendampingi Kiay Mojo ke Kapal tapi mendampinginya terus sampai ke Minahasa.
Du Bus telah menyiapkan segala sesuatunya yang berurusan dengan keperluan Kiay Mojo.
Kepada Gubernur Maluku diinstrusikan agar supaya memberikan fasilitas fasilitas yang diperlukan kepada residen Manado.
Sesampainya
di Dermaga Kiay Mojo disambut Admiral kapal perang Korvert, berjabatan
tangan dan juga disambut oleh Kapten Kapal beserta anak buahnya.
Tak lama berselang Admiral menghilang menuju kekapal komandonya yang disembunyikan ditempat lain.
Penyambutan
yang berlebihan itu membuat Kiay Mojo curiga dan memandang pada
senopatinya Tumenggung Zees Pajang dimana dia membalas dengan pandangan
yang serupa.
Kemudian Kiay Mojo diajak Kapten Kapal mengelilingi
ruangan kapal dan diperlihatkan alat alat senjata Meriam dan jejeran
senjata lainnya.
Kyai Mojo & Du Bus
Kemudian senopatinya
nyeletuk kepada Kapten Kapal, inikah kapal yang mengangkut 3000 tentara
Belanda Totok ke Jokyakarta yang telah disapuh bersih pada waktu perang
berkecamuk, tapi Kapten Kapal tidak menjawab menundukkan kepalanya,
sambil terus berjalan.
Dalam acara ramah tamah sambil menyuguhkan
makanan diberitahukan bahwa rombongan Kiay Mojo didalam kapal ini akan
melakukan darmawisata ( dibohongi ) di Utara perairan Laut Jawa, dan
baru sesuap makan kapal sudah bergerak menjauhi Tanjung Priuk.
Dengan
menancapkan gas vorseneling penuh kapal korvet tersebut bergerak dengan
cepat sehingga Tanjung Priuk tidak kelihatan lagi, tiba tiba dengan tak
terduga muncul 2 kapal lain yang membuntuti dari belakang.
Tidak
berapa lama kemudian pantai Utara Jawa Barat menghilang dan dari atas
geladak kapal itu Kiay Mojo melihat dengan jelas ternyata 2 kapal yang
membututi dari belakang penuh dengan serdadu serdadu Belanda.
Sadarlah Kiay Mojo sekarang bahwa dia telah dijebak dan tidak tau mau dibawa kemana! Apakah ke suatu tempat antah berantah!
Dengan
rasa kecewa dan amarahnya Kiay Mojo dan beberapa pengikutnya bergegas
menemui Kapten Kapal untuk menanyakan kapal ini tujuannya kemana, dan
serta merta Kapten Kapal menyongsong mereka dan berkata, bahwa kapal ini
atas perintah atasannya akan menuju ke Minahasa Sulawesi Utara (
sekarang ), sebagai tawanan yang terhormat, dan lihatlah disamping kapal
ini , 2 kapal perang sudah siap melakukan sesuatu apabila saudara
saudara membuat kegaduhan diatas kapal ini.
Pemuda pemuda yang lain
sudah berteriak Allahu Akbar untuk mengadakan pemberontakan diatas
kapal, untuk menangkapi Kapten dan awaknya dan akan dilemparkan ke laut
Jawa.
Mereka bersedia rela mati Syahid, biar darah mereka menyirami laut Jawa.
Kemudian
Kiay Mojo berkata, tengoklah teropong teropong dari 2 kapal disamping
yang diarahkan ke kita, salah sedikit kita akan mati, mati konyol
namanya.
Akhirnya Kiay Mojo dapat meredahkan emosi rombongannya,
dimana kapal sudah memasuki laut Sulawesi untuk singgah sebentar di
Makassar, kemudian kapal bergerak lagi dan memasuki perairan Maluku dan
singgah sebentar di Ambon untuk melapor kepada Gubernur Maluku yang
membawahi kresidenan Manado.
Selanjutnya Kapal melanjutkan perjalanan
menuju Minahasa dan akhirnya berlabuh di Kema pantai Timur Minahasa,
rombongan tetap didampingi oleh residen Jokyakarta Van Nes.
Kema pada waktu itu adalah satu pelabuhan antar pulau dengan kepulauan kepulauan di Maluku.
Pada
masa itu perjalanan Betawi – Minahasa PP dilakukan melalui Ternate atau
Ambon, kemudian route dirubah Betawi – Makassar – Manado.
Negeri
negeri seperti Minahasa, Bolaang Mongondow, Sangir Talaud adalah wilayah
kresidenan dengan ibu neger Manado dibawah pemerintahan Prefekture / ke
Gubernuran Maluku dengan ibu negeri Ambon.
Dapat dibayangkan
bagaimana perasaannya Kiay Mojo dan rombongan melihat kenyataan bahwa
mereka telah berada disatu tempat yang sangat asing yang kondisinya dan
adat istiadatnya jauh berbeda dengan tanah kelahiran mereka Joyakarta.
Kedatangan mereka disambut oleh residen, Meester in de Richten, D.F.W.Pietermaat .
Rombongan ditempatkan dikediaman Residen, kemudian bercakap cakap mengenai selama perjalanan dari Betawi – Kema.
Van
Nes menyerahkan dokumen dokumen rombongan kepada Residen dan sejurus
kemudian dia berkata kepada rombongan, saudara saudara, tuan tuan
sebentar lagi segera akan berangkat ke Manado untuk urusan lebih lanjut
bagi kepentingan tuan tuan sendiri., lalu kemudian kedua orang Belanda
itu naik kereta model abad 18 menuju Manado.
Dalam pada itu sepasukan Borgo telah siap untuk mengawal Kiay Mojo dan rombongannya untuk berangkat menuju Manado.
Maka
nampaklah serombongan orang orang yang masih asing bagi penduduk
Minahasa dalam formasi yang teratur rapih yang dipimpin oleh Tumenggung
Sis Pajang melakukan Long March melalui jalan Minawerot* yang mulai dari
Kema non stop.
Akan tetapi setelah melewati Kumelembuai ( Airmadidi )
yang sekarang, Komandan pasukan Borgo memberikan abaaba untuk istirahat
seketika.
Nampaknya serdadu serdadu Borgo itu sangat keletihan
padahal diantara mereka itu terdapat ”Scherpspschutters” - snipeer (
penembak jitu ) namun dalam melakukan perjalan Long March itu mereka
tidak biasa, hal ini berbeda dengan Kiay Maja & rombongan yang sudah
terlatih bertahun tahun mendaki bukit bukit yang tinggi, melintasi
tebing tebing yang curam, mendaki bukit bukit yang tinggi, disekitar
gunung Merapi di Jawa Tengah itu.
Sejurus kemudian kendati masih
letih dan penat Komandan Pengawal Borgo memberikan aba aba untuk
meneruskan perjalanan dan apabila telah mencapai sebuah tikungan jalan
dimana terdapat jembatan Panjang yakni jembatan Kairagi yang sekarang
terletak di pintu gerbang pntu masuk kota Manado maka akhirnya sekarang
berbalik yang seharusnya mengawal menjadi dikawal.
Disaat sat seperti
itu tampil beberapa pemuda dan menghadap Kiay Mojo dengan maksud hendak
melucuti senjata senjata serdadu borgo tersebut akan tetap pemuda yang
tertua dari mereka segera bertindak menggagalkan maksud mereka tersebut
dengan berkata, bekin susah akan menghancurkan diri sendiri.
*)Minawerot dalam bahasa Minahasa berarti berjejer.
Kampung2
yang berjejer di sepanjang jalan, yaitu mulai dari Kauditan, dekat
negeri Kema sekarang, sampai kedesa Tumaluntung dekat Airmadidi yang
sekarang berderet kampung2 yang tiada putus2 yang sekarang ditingkatkan
menjadi jalan”Worang ByPass” langsung kekota pelabuhan Samudra Bitung.
Tak
berapa lama kemudian nampak menyongsong sepasukan serdadu yang lain
yang akan menghantar rombongan disuatu kompleks yang telah ditunjukkan
oleh residen Manado, yaitu kompleks dimana beradanya rumah bekas tempat
kediaman dari raja Manado (suku bangsa Bobentehu) dilokasi Pondol
sekarang di Manado.
Sambil menunggu proses administrasi yang sedang
dilakukan di Kantor Kresidenan yaitu dilokasi Kantor Gubernur yang lama
di Pondol, rombongan diistirahatkan di Rumah Residen, dan selanjutnya
Long March dilanjutkan lagi menuju Tondano.
Sebelum lebih lanjut
menguraikan sejarah Long March Manado – Tondano baiklah kita lihat
secara singkat Selayang Pandang Kota Manado pada waktu itu.
V.SELAYANG PANDANG
KOTA MANADO & MINAHASA.
Hingga tahun 1824 sebutan Manado belum terdapat dalam peta Minahasa.
Orang
orang suku Minahasa lebih senang dan aman hidup di pedalaman daripada
dipesisir, disebabkan oleh karena bajak bajak laut dari Mindanau
Philipina yang selalu saja datang merampok, membunuh dan membakar habis
negeri negeri yang berada disepanjang pantai Timur Minahasa dan sering
sering juga muncul secara tiba tiba pantai Barat Minahasa, maka sebutan
Manado itu tidak dikenal oleh suku bangsa Minahasa.
Jumlah penduduk Minahasa waktu itu baru sekitar 80.000 jiwa*
Manado
disebut oleh mereka2 “MANAROW”/BENANG dan kadangkala disebut juga
BOBENTEHU oleh karana dimasa itu di Manado didiami oleh suku Bobentehu
yang berasal dari Sangir Talaud dan pernah berkuasa di Manado dan
Bolaang Mongondow.
Seorang dari suku Bobentehu yang bernama “LOLODA
MOKOAGOW” memproklamirkan dirinya selain menjadi raja Manado, juga
menjadi raja Bolaang Mongondow.
Menurut sumber yang lain jauh sebelumnya suku Bobentehu itu itu adalah campuran Ternate,Sanger Talaud dan Bolaang Mongondow.
Mereka mereka itulah yang pertama-tama mendirikan Balok Balok
(
tempat Tinggal ), yang kemudian Balok Balok itu disebut oleh suku
Minahasa WALAK WALAK, dan terakhir dibahasa Minahasakan menjadi
”PAKASAAN”**
Jadi suku Bobentehu itu bukanlah suku asli Minahasa,
sebaliknya apabila orang orang suku Minahasa datang pindah tempat
tinggal di Manado maka mereka itu terhisab orang orang pendatang.
Jikalau
seseorang suku Minahasa asli hendak bepergian ke Manado, maka
tetangganya akan menyapanya dalam bahasa daerahnya, “Mange-an isako” (
Mau kemana enggkau ),maka dia akan menjawab, “Mange-an
manarow”/Benang”(Pergi ketempat yang jauh/Benang ).
BENANG adalah
sejenis pohon yang besar yang sangat rimbun bertumbuh di Manado menjadi
tempat berlindung dikala panas terik. Kemudian dengan perubahan struktur
kepemirantahan Prefektur ke Gubernuran Maluku dimana Manado dijadikan
ibu negeri Kresidenan maka mulai tahun 1825 nama MANAROW/BENANG disebut
dengan lidah Belanda “MANADO”.
Jauh sebelum masa itu bangsa kulit
putih yang menginjakkan kakinya di Minahasa adalah Portugis dan Spanyol
hingga akhir abad ke 18.
Kemudian pada abad ke 17 adalah bangsa
Indonesia sendiri yaitu Sultan Hairun dan dilanjutkan oleh putranya
sultan Baabullah dari ternate.
*) R.Z.Leirissa-dalam bukunya: Minahasa diawal Perang Kemerdekaan-Peristiwa Merah Putih dan Sebab Musababnya.
**) Pakasaan: Sesuatu yang dilakukan satu kali atau menyatukalikan sesuatu keseluruhan
( Kesatuan = Distrik )
Sebelumnya juga bangsa Belanda dengan VOC nya ( Vereenigde Oost Indische Compagnie) dan Inggeris.
Pada masa ini ada satu hal sangat paradox dan kontradiktif.
Ternyata
Belanda pada waktu itu sedang merekrut pemuda pemuda Minahasa untuk
melawan Perang Diponegoro karena VOC belum mempunyai tentara asal
Minahasa.
Pada tahun 1829 Hukum Besar Tondano, Abraham Dotulong
membuat perjanjian dengan residen di Manado dan menyiapkan 120 pemuda,
Hukum Besar Tonsea, Lucas Pelengkahu menyiapkan 377 pemuda, Hukum Besar
Sonder, Herman Willem Dotulong menyiapkan 240 pemuda, sampai mencapai
jumlah keseluruhan 1.400 pemuda Minahasa yang dikirim ke Jawa.
Setelah
Perang Dipanegara selesai sebahagian dari pemuda pemuda Minahasa ini
pulang kembali ke Minahasa yang kemudian dikenal denagan nama KNIL (
Koninklijk Nederlandsch Indische Leger ) yang pada waktu itu merupakan
kebanggan tersendiri, walaupun dikemudian hari membrontak ke Belanda
karena dianggap soldadu klas II ( tidak disamakan dengan Belanda ).
Hal
ini bisa terjadi karena para Kepala Walak welcome dengan Belanda ( VOC )
didalam citra perdagangan KOPI di sekitar Tondano, sehingga terjalin
hubungan yang baik.
Disamping itu juga bahwa Belanda telah menguasai
Minahasa melalaui peperangan yang dahsyat dengan jatuhnya benteng
pertahanan Minahasa Moraya di Tondano pada tahun 1809.
VI. LONG MARCH
MANADO – TONSEA – TONDANO
Sebelum
rombongan melanjutkan kembali perjalanan LONG MARC dari Manado menuju
Tondano, Residen Manado Pichtermaat yang Sarjana Hukum “Meester in de
Rechten” membacakan keputusan yang disaksikan oleh Residen Jokyakarta
Van Nes:
“Sebagaimana tuan tuan sudah lihat, Pemerintah tidak
akan mendustai kata katanya sendiri, yaitu bahwa tuan tuan akan
diperlakukan dengan baik.
Sebagaimana tuan tuan sudah tahu, bahwa
tindakan yang telah diambil oleh Pemerintah terhadap tuan tuan sekalian
itu, dimaksudkan untuk menghentikan permusuhan yang sudah menelan korban
korban manusia dan harta benda yang sangat banyak.
Sekarang tuan
tuan sudah berada di Minahasa dan urusan urusan kepemerintahan terhadap
tuan tuan berada ditangan kami ( Residen Manado ) melalui Konteler.
Mulai
sekarang, tuan tuan sekalian dinyatakan bebas dari pada segala
tindakan2 Pemerintah yang telah diambil sebelumnya, dan disini (
Minahasa ) bebas memilih tata cara kehidupan sesuai kesanggupan dari
tuan tuan sendiri.
Hak hak dan kewajiban tuan tuan adalah sama dengan
hak hak dan kewajiban penduduk Minahasa, yaitu tunduk pada Reglemen
Reglemen Kepemerintahan, dengan syarat syarat bahwa tuan tuan jangan
lagi berbuat seperti yang telah berlaku di Jawa dan janganlah
mempengaruhi penduduk Minahasa untuk bersikap bermusuhan dengan
Pemerintah.
Kami tahu, bahwa tuan tuan berkehendak untuk melakukan
Syariat agama tuan tuan sebagaimana mestinya dan untuk itu tuan tuan
tidak terlarang.
Juga kawin mawin dengan penduduk Minahasa tidak
terlarang, hanya hal itu harus dilaporkan langsung kepada tuan Konteler
dan apabila ada terdapat salah seorang anggota dari rombongan tuan tuan
yang bermaksud kawin dengan anggota Walak Walak, hendaklah hal itu
dilaporkan kepada Residen.
Kami, selaku penguasa kepemerintahan di
Minahasa memintakan agar tuan tuan menjadi suri tauladan bagi penduduk
Minahasa didalam Pemerintah memajukan daerah Minahasa didalam bidang
pertanian, terutama persawahan dan perladangan sebagaimana hal itu
berlaku di Jawa.
Untuk itu Pemerintah telah menyediakan bagi tuan
tuan daerah tanah garapan yang sifatnya jauh lebih baik dari pada jenis
tanah garapan di Jawa.
Tanah garapan itu berada diwilayah keperintahan tuan Konteler yang berkedudukan di Tondano.
Kepada
tuan Konteler yang bertempat kedudukan di Tondano kami telah serahkan
wewenang atas nama Pemerintah untuk mengatur sebaik baiknya segala
sesuatu yang tersangkut paut bagi urusan tuan tuan disana, dan sekarang
tuan Konteler itu menunggu kedatangan tuan tuan dan akan menyambut tuan
tuan disana.
Perlu tuan tuan ketahui, bahwa menurut keputusan
Pemerintah tertinggi Paduka tuan Komisaris General di Betawi, bahwa
kepada tuan Kyai Mojo diberikan onderstand (tunjangan) hidup sebanyak
empat ringgit sebulan, demikian pula kepada tuan tuan yang lain
diberikan onderstanf sesuai kedudukan masing masing sewaktu menjabat
Pati di Jawa.
Agar tuan tuan bersiaplah berangkat menuju tanah
garapan itu dan untuk itu tuan tuan akan disertai oeh beberapa petugas
sekedar petunjuk jalan.
Maka dengan mengucapkan Selamat Jalan dan
Selamat bekerja, Meester in de Rechten residen Picteermaat mengetok
palunya diatas mejanya, tanpa memberikan kesempatan sedikitpun juga
kepada Kyai Mojo, selain dari pada berjabatan tangan satu sama lainnya.
Namun Kyai Maja menyadari bahwa keputusan itu mengandung udang dibalik batu.
Perjalanan
Long March menuju Tondano segera dimulai dengan route Manado – Tonsea
Lama – Tondano dengan jalan menyusuri aliran sungai Tondano.
Melalui
tanjakan bukit bukit, jurang yang tidak terlalu dalam tidak menjadi
halangan melintasi daerah dimana berada desa Kuwil yang sekarang, terus
menanjak non stop hingga mencapai suatu tikungan sungai Tondano, dimana
disebelah Timur sungai Tondano berada desa Sawangan yang sekarang, terus
lagi menanjak melintasi dimana disebelah Timur sungai beradanya desa
Tanggari yang sekarang, terus lagi menanjak sampailah mereka disuatu
bukit yang bernama TASIKELA*, Long March berlanjut terus menanjak,
sampai suatu saat bertemu GEROJOGAN ( Air Terjun ) yang sekarang sebagai
Pusat Listrik Tenaga Air ( PLTA ) di Minahasa , setelah itu dalam
perjalanan selanjutnya tidak ada lagi tanjakan bukit dan setelah sekitar
30 menit sampailah Kyai Mojo dan rombongan ditempat tujuan.
Tempat itu berada paling ujung Selatan negeri Tonsea Lama dan paling Utara ujung negeri Tondano sekarang.
Perjalan Long March ini memakan waktu kurang dari sehari, hanya sekitar delapam jam dari Manado.
*)
bekas bekas jejak jejak kaki bangsa Spanyol dimana mereka mereka itu
bermaksud medirikan Benteng dibukit itu pada sekitar tahun 1620).
Disatu
tempat seluas setengah hektare terlihat satu bangsal (bangunan) dari
bambu yang merupakan gerbang pintu batas antara Walak ( distrik ) Tonsea
disatu pihak dan Walak ( distrik ) Toulour dipihak yang lain.
Lokasi
itu berada ditepi Barat Sungai Tondano yang dikelilingi lapangan yang
berawa melulu, melalui arah Barat rawa itu mencapai lokasi beradanya
Balai Ibukota Dati II Minahasa sekarang.
Kemudian Konteler
menunjukkan batas batas daerah tanah garapan kepada Kyai Mojo dan
rombongannya, yaitu, Lembah berbatasan puncak bukit pegunungan
Makawaimbeng ( sekarang menjadi stasiun pemancar TVRI ) disebelah Timur,
disebelah Selatan berbatasan dengan kali Sumesempot yang berhulu dari
pegunungan Lembean
dan bermuara disungai Tondano, terus dengan
Selokan Sumalanka yang berhulu dari pegunungan Masarang dan bermuara di
Sungai Tondano juga.
Disebelah Utara berbatasan dari bukit pegunungan Masarang ke bukit pegunungan Lembean kecuali negeri Tonsea Lama.
VII. TEMPAT TINGGAL PERTAMA.
Bertempat
di Bangsal tadi itulah sekarang Kyai Mojo dan rombongan tinggal,
sedangkan Konteler sendiri bertempat tinggal di Loji Tondano, kampung
Liningaan sekarang.
Untuk sementara mereka tidak bisa berbuat apa
selain berpikir bagaimana mempertahnakan hidup, dan untuk kebutuhan
makan digunakan uang santunan yang diberikan Residen.
Disekitar tempat itu sejauh mata memandang seluruhnya berupa rawa rawa dan alang alang yang kelihatannya seram dan kejam.
Setiap hari siang malam hanya terdengar bunyi jangkrik dan nyamuk nyamuk yang bersliweran.
Hal
ini menjadikan pertanyaan, memang apabila Kyai Mojo dan rombongan tidak
punya keahlian khusus, waktu itu mungkin sudah dipastikan seluruhnya
akan mati konyol disana.
Mungkin itulah yang dimaksud dalam benak Kyai Maja sewaktu dibacakan keputusan Residen Manado sebelum berangkat ke Tondano.
Dengan
kondisi demikian maka Kyai Mojo dan rombongan membuat suatu rencana
atau program bagaimana merubah tanah tersebut menjadi persawahan.
Rencana dimulai pada tanah rawa ditepi Timur Balai Kota Dati II Tondano sekarang hingga Tepi Barat Sungai Tondano.
Didalam
perencanaan ini seluruh pengalaman dari Jawa dikerahkan untuk membuat
rencana tersebut supaya menjadi kenyataan dan harus berhasil.
VIII. PERSAWAHAN PERTAMA KALI
DI TONDANO.
Setelah
beberapa lama maka rencana merubah lapangan rawah menjadi lahan
persawahan dimulai, dengan memanfaatkan sumber air dari pegunungan
sekitarnya.
Tondano Tempo Dulu
Yang pertama dilaksanakan adalah menggali tanah ditengah lapangan rawah menuju Sungai Tondano.
Maksudnya
agar air rawa yang sudah berabad lamanya itu dapat dialirkan ke Sungai
Tondano sehingga disuatu saat air rawa yang sudah berwarna merah
kecoklatan itu lapangan rawa itu kering dari air yang menggering.
Hal ini harus dilakukan karena sudah beberapa kali dicoba menanam padi akhirnya sebelum berbuah padi memerah dan musnah.
Hal ini diakibatkan karena tanahnya mengandung kadar alkalis yang tinggi.
Selanjutnya
pada tahap berikutnya seluruh tumbuhan rawa dicabut seluruhnya dan
dibenamkan kembali kdalam rawa untuk dijadikan pematang sawah, sehingga
lapangan menjadi petak petak.
Setelah itu beberapa petak digemburkan untuk dijadikan pembibitan padi.
Setelah
40 hari maka padi yang sudah tumbuh dipindahkan keseluruh petak petak
sawah tadi , sambil berdoa semoga usaha ini berhasil
Kemudian
ternyata usaha ini berhasil dan menhasilkan panen yang banyak akhirnya
mengagetkan penduduk Tonsea dan Toulour dimana akhirnya semua mayarakat
dapat menikmati hasil panen padi tersebut.
Sampai saat ini persawahan tersebut masih eksis yaitu di desa We’welen ( lua’n ) dan Bacek ( Tanah Rawa ) dan Tounsaru.
IX. PEMBANGUNAN DESA MODEL BLOK
PERTAMA KALI DI TONDANO
Sesudah
sekian lama Kyai Mojo tinggal di lokasi Bangsal, maka terjalinlah
hubungan yang sangat harmonis dengan penduduk Tonsea Lama, saling
menghormati.
Walaupun binatang peliharaan penduduk Tonsea yang waktu
itu yang namanya “Kenjer” selalu saja datang mengganggu tapi binatang
binatang itu tidak pernah dianiaya.
Walaupun demikian terasa perlu
memindahkan tempat pemukiman karena dilokasi itu nampaknya kurang sehat
ditempati untuk tempat kediaman.
Untuk menetapkan*) lokasi yang tepat
dan sehat untuk pemukiman maka Kyai Mojo membuat empat buah “Anca” (
sosiru )yang terbuat dari nyiru dan masingmasing anca diisikan segumpal
daging sapi, kemudian keempat anca ini diikatkan pada empat ujung bambu
dan ditancapkan dikeepat penjuru sesuai batas batas yang telah
ditentukan ole Konteler yaitu:
1. Dipancangkan dikaki pegunungan Masarang.
2. Dpancangkan disudut delta yang diapit kali Sumesempot sebelah Selatan dan di Barat Sungai Tondano.
*) Menentukan posisi Kampung Jawa Tondano, dalam pengertian saat ini adalah berhubungan dengan nilai kelembaban udara.
3. Di Kompleks makam Kyai Maja sekarang ( Wulouwan )
4. Disebelah Timur Tonsea Lama.
Pada
waktu waktu tetentu daging daging yang digantung itu diperiksa, pada
tiang bambu manakah, daging daging yang digantung itu cepat atau lama
membusuk.
Ternyata setelah pengamatan maka yang tahan lama membusuk
adalah daging ditiang yang ditancapkan dilokasi delta yang diapit oleh
kali Sumesempot dan Sungai Tondano itu.
Maka diputuskanlah ditempat itu untuk pembangunan Desa yang sekarang menjadi desa Kampung Jawa Tondano.
Sambil
menunggu proses administrasi yang sedang dilakukan di Kantor Kresidenan
yaitu dilokasi Kantor Gubernur yang lama di Pondol, rombongan
diistirahatkan di Rumah Residen, dan selanjutnya Long March dilanjutkan
lagi menuju Tondano.
Sambil menunggu proses administrasi yang sedang
dilakukan di Kantor Kresidenan yaitu dilokasi Kantor Gubernur yang lama
di Pondol, rombongan diistirahatkan di Rumah Residen, dan selanjutnya
Long March dilanjutkan lagi menuju Tondano.
Sebelum lebih lanjut
menguraikan sejarah Long March Manado – Tondano baiklah kita lihat
secara singkat Selayang Pandang Kota Manado pada waktu itu.
Tanpa
disadari dengan perjalanan waktu, maka Kyai Mojo beserta rombongannya
telah menciptakan suatu pemukiman baru di Tondano – Minahasa , yaitu
Kampung Jawa Tondano pada tahun 1831.
Tanah Kampung Jawa Tondano adalah pemberian Negara ( Hindia Belanda ).
Residen
Menado mengunjungi Kampung Jawa Tondano pada bulan October 1831,
setelah lebih 1 tahun Kyai Mojo dan pengikutnya berada disana.
Residen
Manado menemui dan berbicara dengan Kyai Mojo, dan pada kesempatan itu
Residen memberitahukan bahwa tanah yang ditempati Kyai Mojo dan
pengikutnya dan tanah yang mereka gunakan untuk bercocok tanam diberikan
kepada mereka sebagai pemberian Negara.
Pemerintah Hindia Belanda
membeli tanah tersebut dari pemiliknya ( Kepala Walak Distrik Tondano)
namun Kepala Walak Distrik Tondano tidak mau dibayar sebagai ganti rugi
tanahnya yang diambil oleh Negara untuk penempatan tahanan Negara.
Kepala Walak Distrik Tondano rela memberikan tanahnya kepada Kyai Mojo dan rombongannya.
Disini
terlihat bahwa apa yang dilakukan oleh Kepala Walak Distrik Tondano,
mencerminkan adanya persahabatan yang sangat erat dan juga sangat
menerima kedatangan Kyai Mojo dan rombongan di Tondano.
Kedatangan
Kyai Mojo dan pengikutnya yang baru 1 tahun telah menarik hati penduduk
asli sekitarnya sehingga penduduk asli menghormati dan mencintai Kyai
Mojo.
Hal ini disebakan karena Kyai Mojo dan pengikutnya telah mengajari penduduk setempat ( Alifuru ) bercocok tanam dan persawahan.
Hal ini sesuai kesaksian Residen Manado sewaktu berkunjung kesana dan mengajukan ke pemerintah Hindia Belanda berupa:
Permintaan 22 gulden per bulan atau 264 gulden untuk setiap bulan atau 264 gulden pertahun.
Atas
permintaan Residen Manado maka pada tanggal 30 April 1839 No.117 dan
rekomendasi Direktur Lands Production en Civil Magazijne tanggal 14 Juni
1839 No.2520, pemerintah memberikan uang sejumlah 500 gulden untuk
membeli sapi dan menyewa pembajak untuk mengolah sawah.
Kyai Mojo hidup selama 19 tahun di Kampung Jawa Tondano, dan wafat pada tanggal 20 Desember 1849 pada usia 60 tahun.
Makamnya
terletak 2 Km sebelah Timur dari Kampung Jawa Tondano bersama rombongan
dan kerabatnya yang berbatasan dengan Desa Wulouan.
Beliau telah
meninggalkan ajaran ajaranya bagaimana menjadi manusia yang
bermartabat, hidup dalam bermasyarakat yang damai dan harus tetap
bekerja dan berusaha.
Melalui Keputusan Pemerintah Republik Indonesia, Kyai Mojo dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Bangsa.
Mengingat
Masyarakat Kampung Jawa Tondano lahir dari rombongan Kyai Mojo dan
Wanita asli Minahsa, maka dapat dikatakan disini bahwa masyarakat
Kampung Jawa Tondano saat ini sudah menjadi Etnis masyarakat Minahasa.
Orang orang Kampung Jawa Tondano selama ini tidak berpikir kalau mereka bukan orang Minahasa.
Makam Kyai Mojo
XI. KAMPUNG JAWA TONDANO
MENJADI TEMPAT PENGASINGAN
Dalam
perkembangan selanjutnya Kampung Jawa oleh Belanda menjadi tempat
pengasingan para Ulama terkenal yang banyak pengaruhnya dalam
pembrontakan melawan Belanda.
Ulama ulama itu antara lain:
1. Dari Aceh.
- Tengku Muhamad , panglima tentara Aceh ( 1895 ).
2. Dari Padang.
- Tuanku Imam Bonjol ( 1840 ), Panglima Perang Padri.
3. Dari Palembang.
- Sayyid Abdullah bin Umar Assagaf ( 1880 ) , orang keturunan Arab bersama istrinya keturunan Eropah, Nelly Meiyer.
Gubernur Gorontalo saat ini, Fadel Mohamad salah satu kerabatnya.
-
Tjotrodininggrat ( 1844 ) juga dari Palembang, adalah saudara laki laki
dari Sultan Najamuddin Palembang, dimana anak laki lakinya Pangeran
Nguren kawin dengan Gadis remboken fam Riet Tombeng.
4. Dari Banten.
- Haji Abdulkarim,Haji Muh. Asnawi,Haji Jaffar,Haji Mardjaya(1911)
5. Dari Surakarta ( Solo ).
- Pangeran Ronggo Danupoyo ( 1905 ), anaknya dari Sunan Pakubuwono IV – Surakarta ( Solo )
6. Dari Kalimantan.
- Gusti Perbatasari ( 1926 ), putra Sultan dari Banjarmasin Kalimantan.
7. Dari Maluku.
- Haji Saparua ( 1900 ) dari Maluku.
Selang
beberapa masa yang agak panjang Kampung Jawa di Tondano merupakan salah
satu pusat pengkajian ilmu agama Islam terutama penduduk disekeliling
Minahasa dan Sulawesi Tengah datang untuk pangkajian agama Islam kepada
alim ulama di kampung Jawa Tondano.
Pengkajian ilmu agama tersebut
lebih meningkat lagi apabila di Tondano itu oleh Belanda dibuka Sekolah
Raja ( Hoofden School ), dimana anak anak raja diseluruh Sulawesi Utara
masuk kesekolah tersebut.
Perlu dicatat disini bahwa ada beberapa
warga Kampung Jawa berhasil masuk kesekolah Belanda yang hanya
diperuntukkan bagi Inlander namanya MULO, sehingga dapat berbicara
bahasa Belanda.
Selanjutnya tentang perkembangan Islam di Minahasa,
terlebih dahulu hedaknya diketahui bahwa hingga kedatangan Kyai Maja di
Minahasa merupakan daerah tertutup bagi dunia Islam.
Dalam logat bahasa Minahasa tiada terdapat sepatah katapun juga yang berasal dari bahasa bahasa Arab, Gujarat atau sangsekerta.
Hal
ini disebabkan karena penduduk Minahasa umumnya hidup dipedalaman dan
bukan dipesisir sehingga tidak ada kontak dengan duna luar teruatama
Islam pada eranya kesultanan Ternate.
Kembali pada penguasaan Belanda
terhadap Minahasa tahun 1830, maka Pemerintah Hidia Belanda baru
mendatangkan pekabar pekabar Injil langsung dari Belanda dan tiba di
Tondano pada tahun 1831 yaitu J.F.Richdel dan J.G.Schwarz.
Jadi
berdasarkan data ini maka yang lebih dulu menapakkan kakinya di Tondano
Minahasa adalah Islam yaitu Kyai Mojo dan rombongannya.
Bedanya
disini adalah Kyai Mojo tiba di Tondano bukan untuk menyiarkan Islam
kepada masyarakat Minahasa, melainkan hanya semata mata untuk
mempertahankan hidup dan tetap dengan keyakinanya yaitu Islam, sedangkan
Belanda datang disamping menguasai Minahasa juga untuk memberikan
pekabaran Injil bagi Masyarakat Minahasa dengan segala fasilitas
penujangnya.
Lepas dari agama Kristen, suku bangsa Minahasa mempunyai
kepercayaan tersendiri yang asli Minahasa yaitu menurut E.V.Adam
didalam bukunya ”Kesusastraan Kebudayaan dan Cerita Cerita Peninggalan
Minahasa” menulis:
Bahwa segala kepala kepala agama zaman purba
Minahasa ( Alifuru ), apabila mereka hadir dalam upacara foso ( korban )
yaitu upacara untuk mempersembahkan sesuatu kepada Yang Maha Tinggi,
maka mereka memuji dan memuja untuk menyempurnakan ketaatan mereka
sambil kepala kepala agama itu melalukan corak dan bentuk persemahannya
menurut ajaran dari Ilah yang pertama dan paling Tua.
Adapun Ila yang pertama dan paling Tua dan paling bijaksana itu adalah KAREMA ( Kadema ).
Menurut
cerita bahwa Karema itu masuk dunia ini ia tiada dilahirkan , ia masuk
dunia dengan kuasa gaib dan ajaib dengan pribadi sempurna, keluar dari
pecahan batu.
Selaku Ilah ia menjadi kepala agama dan mengatur adat istiadat sambil memberikan pelajaran pelajaran.
Mula mula kepada Lumimu’ut dan To’ar.
Perkataan
perkataan dan kalimat kalimat memuja dan memuji itu sekaliannya
mempertinggi ,mempermulia,menghormati dan menjunjung Yang Maha Tinggi.
Kalimat kalimat itu menanamkan dengan penjelasan paling tepat bahwa adalah satu Ilah yang paling berkuasa yang bergelar:
OPO’
WAILAN WANGKO, OPOMANEMBO NEMBO, OPO RENGA RENGAN, minema tana’ wo
langit ( Ilah yang kaya raya dan maha besar, Ilah yang melihat
keseluruhan Dunia, Ilah yang lahir dan seumur dengan Dunia, yang sudah
ciptakan Bumi dan Langit).
Pertanyaan sejak kapan kepercayaan suku Minahasa ini berawal.
Perhitungan dimulai berdasarka tahun kalender suku Minahasa.
Perhitungannya
dimulai pada zaman Pembagian atau zaman PINAWETENGAN UN NUWU bertempat
disuatu dataran tinggi dikaki gunung Toundurutan yang sekarang disebut
Touderukan.
Untuk mengembalikan kenang kenangan zaman PINAWETENGAN UN
NUWU itulah maka didirikan sebuah batu peringatan: “WATU PINAWTENGAN” (
batu tempat pembagian ) yang terletak di negeri Pinabetengan sekarang.
Alasan perhitungannya adalah sebagai berikut:
Tiap 3 garden (derajad) = 100 tahun.
Dalam tahun 1931, maka dalam simpanan beberapa keluarga di Minahasa masih ada silsilah dengan perhitungan 24 derajad.
24 derajad = 8 x 3 derajad = 100 tahun.
8 x 100 tahun + 100 tahun = 900 tahun.
Tahun 1931 dikurangi 900 tahun = 1031 tahun, itulah dimulainya ZAMAN KAREMA, LUMIMU’UT dan TO’AR.
Menurut riwayat, maka orang MINAHASA pertama ialah Lumimu’t seorang wanita.
Lumimu’ut seorang manusia legendaris, diam ditempat yamg bernama Tu’ur in tana’ ( tanah leluhur ).
Ditempat ini secara legendaris pula diceritakan kelahiran anaknya laki laki TO’AR.
Setelah ia dewasa atas sesuatu anjuran, ibu dan anak mengelilingi dunia untuk mencari jodoh masing masing.
Setelah mereka bertemu disuatu tempat mereka mempersamakan tongkat yang ada pada masing masing .
Setelah
mereka bertemu disuatu tempat mereka mempersamakan tongkat yang ada
pada masing masing ( tongkat tongkat itu terdiri dari batang goloba (
Tuis ) dan ternyata bahwa tongkat tongkat itu tidak sama panjang lagi,
maka ini berarti bahwa mereka bukan ibu dan anak, tetapi asing satu sama
lain.
Kemudian mereka menjadi suami istri.
Turunan mereka ada banyak sekali yang sekarang ini adalah suku Minahasa.
Oleh karena itu maka tanah Minahasa disebut juga ”TANAH TO’AR DAN LUMIMU’UT”.
XII.INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT
MINAHASA
Masyarakat Kampung Jawa Tondano sudah merupakan satu kesatuan dengan masyarakat Minahasa.
Coba
disimak apa kata para kepala Walak Tonsea, OPO RUNTUPALIT RUMBAYAN
(OPO’ SOKOMEN) dengan Kepala Walak Tondano, OPO’ TOMBOKAN dalam dialaog
berikut ini.
Opo’ Sokomen : Inikah mereka mereka itu orang Jawa
yang digambarkan oleh Belanda kepda kita sebagai orang buangan, karena
suka melawan dan berontak?
Opo’ Tombokan : Ya, mereka berontak kepada Belanda tetapi tidak terhadap kita.
Lihat saja adat mereka mereka adalah baik baik.
Yang muda muda itu sangat hormat dan turut semua nasihat orang tua tua.
Kita tidak boleh terlalu percaya kepada Belanda, siapa tahu dia mau kasih berkelahi kitaorang dengan orang orang Jawa tadi.
Opo’
Sokomen : Siapa pula lagi yang suka berkelahi dengan orang orang yang
selalu bersebahyang itu dan sesudah itu segeralah mereka kepekerjaan
masing masing.
Sesungguhnya kita harus mengikuti contoh contoh yang mereka sudah lakukan, terutama tentang bercocok tanam.
Opo’
Tombokan : Saya merasa sangat tertarik kepada orang orang muda Jawa itu
yang punya mata tajam semacam mata burung alap alap, sambil menunjuk
kepada Ghazali Mojo, anaknya Kyai Mojo.
Opo’ Sokomen : Tetapi itu pemuda Tumenggung Sis yang punya urat kawat tulang besi itu dalam segala hal sangat mengagumkan.
Dia sedikit bicara banyak bekerja.
Akhirnya
dikemudian hari Kyai Ghazali Mojo menjadi anak mantu Opo Tombokan dan
Tumenggung Sis Pajang menjadi anak mantu dari Opo Sokomen Rumbayan.
Adapun
pandangan dari pada dialog diatas tidak mungkin keliru, karena
seseorang yang menjabat Kepala Walak sekaligus ia adalah Pengetua Adat
yang disegani dan dihormati.
Adat Minahasa adalah:
“I PA TU TUA PELE PELENG, I PATU TUA NI BAYA WAYA”
Orang tua dihormati oleh yang muda muda dan menuruti nasihat nasihat.
Ini adalah tanda tanda budi pekerti yang tinggi.
Selanjutnya
oleh karena persahabatan Kyai Mojo dengan Kepala Walak Tonsea dan
Tondano semakin erat, disuatu saat dia menyampaikan lamaran kepada Opo
Sokomen untuk melamar putri bungsunya yang bernama Wurenga ,umur 17
tahun bagi senopatinya Tumenggung Zees Pajang secara Islam yang umurnya
20 tahun. , dan peminangan akan dilakukan oleh tuan Residen dari Manado.
Walaupun
Opo Sokomen yag fanatik keras dengan adat Minahasa dan berfikir keras
mengenai “secara Islam” tapi akhirnya dia menyetujui maksud itu karena
sudah lama Opo Sokemen mengaguminya dan juga putrinya ada menaruh hati.
Demikianlah,
maka residen Pietermaat tidak membohongi kata katanya dahulu, segeralah
dia dengan menunggang kudanya diikuti oleh ajudannya menuju Tonsea Lama
untuk melakukan peminangan kepada Pangatua Adat Walak Tonsea Runtupalit
Rumbayan, memperjodohkan pemuda Tumenggung Sis Pajang dan putri bungsu
Opo Sokomen, Wurenga.
Dan sebagai oleh oleh untuk kedua calon
pengantin itu residen Pietermaat menghadiakan seperangkat pakaian kawin
kha kraton Jokyakarta yang telah dipesan melalui reside Joyakarta Van
Nes.
Sebelum pesta dilangsungkan maka Runtupalit Rumbayan mengundang kaum krabatnya yang berada di Kema, Amurang.
Maka datanglah memenuhi undangannya yaitu Opo Tumbelaka bersama keluarganya dari Amurang termasuk dua putrinya.
Demikian
juga yang hadir adalah Penetua adat Toulour ( touliang-Toulimabot )
diantaranya terdapat Opo’Tombokan beserta keluarganya dan putrinya
bernama Ringkingan.
Maka pesta perkawinan itu dilaksanakan secara
Islam, berlangsung dirayakan, dengan menurut adat istiadat Minahasa
disatu pihak dan adat Jawa dipihak lain selama tujuh hari tujuh malam.
Perayaan
dimeriahkan dengan tarian Maengket dan Masambo yang dibawakan oleh
Tona’as Tona’as sebagai dalang dan diikuti oleh masyarakat sekitarnya
dimana terdapat puluhan gadis gadis Minahasa yang cantik cantik, dan
tarian tarian Jawa.
Adegen adgen itu yang telah dipertontonkan telah membuat gadis gadis lainnya terpesona dan terjadilah perkawinan selanjutnya.
Kyai
Ghazali Mojo putra Kyai Mojo dengan putri gadis terbungsu Opo’
Tombokan, pendiri Negri Tondano di Papal ( Uluna ), hulu sungai Tondano
bagian Barat ( Tondano Tua ).
Tumenggung Reksonegoro Kyai Pulukadang dengan salah seorang putri Opo’ Tumbelaka dari Amurang ( Minahasa Selatan ).
Tumenggung Bratayudo dengan salah satu putri Opo’ Tumbelaka juga.
Ngiso (Isa) Pulukadang dengan putri dari Opo’Pakasi Warouw.
Dan masih beberapa lagi pemuda dari rombongan yang kawin dengan gadis gadis Minahasa.
Dengan
demikaian maka nama nama kelurga ( marga, Fam ) seperti : Wagey,
Maukar, Ranti, Ratulangi, Kawilarang, Kumaunang telah mengasimiliser
dengan nama nama dari orang Jawa itu.
Didalam perkembangan selanjutnya menyusul nama nama fam, Malonda, Lengkong,Supit,Karinda,dan masih banyak lagi.
Masyarakat
Kampung Jawa Tondano, mengikuti kebudayaan Minahasa dengan memakai nama
Fam ( Marga ) dibelakang namanya, tidak seperti di Jawa ( tidak memakai
Marga ).
XII. POPULASI PENDUDUK
KAMPUNG JAWA TONDANO.
Berdasarkan data data dan sensus penduduk maka populasi penduduk Kampung Jawa Tondano adalah sebagai berikut:
1830 - 60
1846 - 273
1854 - 315
1902 - 1300
1965 - 2015
1976 - 2120
2007 – diperkirakan saat ini 50.000 Orang dengan uraian:
5.000 orang Di Kampung Jawa Tondano.
20.000 orang tersebar dibeberapa daerah Minahasa seperti Manado,Pineleng,Sarongsong,Winetin,Doloduo,Tumpaan,Bitung.
25.000 orang diluar Minahasa, Gorontalo, Maluku, Jakarta, serta di daerah lain di Indonesia.
Dengan
adanya data ini kalau diuruti sejak kedatangan pertama kali, dimana
jumlahnya hanya 60 orang atau hanya sekitar 0,001% dari seluruh penduduk
Minahasa pada waktu itu yang berjumlah 80.000 orang.
Saat ini peta
Minahasa sudah berubah, dimana jumlah penduduk Kampung Jawa Tondano yang
ada di Minahasa sudah berjumlah 25.000 orang dari total 304.298*) orang
penduduk Kabupaten Minahasa ( Induk ) atau sekitar 8,2%.
*) Sumber Pemda Kabupaten Minahasa ( Induk )
PENDUDUK KABUPATEN MINAHASA
Jumlah penduduk Kabupaten Minahasa sampai dengan bulan Juni tahun 2006 ,adalah 304.298 Jiwa.
kabupaten
Minahasa memiliki masyarakat dengan dominasi etnis minahasa yang
mendiami daerah pegunungan dan pesisir yang tersebar dalam 18 kecamatan.
Jumlah penduduk dan kepadatannya menurut kecamatan adalah sebagai berikut :
KECAMATAN JUMLAH
PENDUDUK KEPADATAN
PER KM
TONDANO UTARA 10.064 374
TONDANO BARAT 18.588 547
TONDANO SELATAN 17.196 126
TONDANO TIMUR 13.903 381
LANGOWAN BARAT 18.873 364
LANGOWAN SELATAN 8.057 15
LANGOWAN TIMUR 17.773 130
KAKAS 22.177 184
TOMPASO 14.535 491
REMBOKEN 11.488 202
KAWANGKOAN 26.218 532
TOMBARIRI 25.512 180
SONDER 18.114 319
ERIS 12.843 320
LEMBEAN TIMUR 8.855 131
KOMBI 11.133 92
PINELENG 34.822 250
TOMBULU 14.147 164
JUMLAH 304.298 273
XIII. EXPANSI KAMPUNG JAWA TONDANO
Mengingat
jumlah penduduk Kampung Jawa Tondano bertambah, sedangkan lahannya
hanya itu itu saja, masih seperti dulu, maka masyarakat Kampung Jawa
harus mencari alternatif untuk mencari tempat tinggal.
Dapat
dijelaskan disini bahwa masyarakat Kampung Jawa Tondano sejak dulu
sampai sekarang tidak pernah melakukan usaha usaha untuk memperluas
lahan Kampungnya, oleh karena adanya SALING MENGHORMATI TETANGA
TETANGGANYA.
Maka beberapa waktu kemudian dengan adanya hubungan yang
sangat baik dengan masyarakat Minahasa sekitarnya dan juga dalam usaha
perdagangan maka kampung Jawa kecil bermunculan antara lain:
1. Di desa Lotak dan diberi nama Pineleng.
2. Disebelah Utara Kampung Jawa, yang berdekatan dengan Tonsea Lama yaitu Tegal Rejo.
3. Di sebelah Timur Pegunungan Lembean dan diberi nama menurut bahasa daerah Tonsea “Winetin” artinya dipilih.
4. Disebelah Barat Daya pegunungan Masarang di Tomohon diberi nama “Sarongsong” artinya mata air.
5. Di Tuminting disebelah Utara Manado diberi nama Sumompo.
6.
Yang terbesar adalah exodus ke Gorontalo yaitu di Kampung Reksonegoro
dan Kampung Yosonegoro, dan walaupun mereka di Gorontalo bahasa mereka
sehari hari adalah bahasa Tondano.
7. Di Amurang Minahasa Selatan yaitu di Tumpaan.
8.
Di Tompaso Baru Minahasa Selatan yang berbatasan dengan Bolaang
Mongondow ( Bojonegoro ), pada waktu program Kolonisasi – Watuseke (
1924 ).
9. Di Dolodu’o – Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow.
10. Di Jailolo Halmehera – Maluku.
11. Di Bitung didesa Girian.
(www.paguyubanpulukadang.com)
Minggu, 29 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar