Pemimpin Minahasa jaman tempo dulu terdiri dari
dua golongan yakni Walian dan Tona’as. Walian mempunyai asal kata “Wali”
yang artinya mengantar jalan bersama dan memberi perlindungan.
Golongan
ini mengatur upacara agama asli Minahasa hingga disebut golongan
Pendeta. Mereka ahli membaca tanta-tanda alam dan benda langit,
menghitung posisi bulan dan matahari dengan patokan
gunung, mengamati
munculnya bintang-bintang tertentu seperti “Kateluan” (bintang tiga),
“Tetepi” (Meteor) dan sebagainya untuk menentukan musim menanam.
Menghafal urutan silsilah sampai puluhan generasi lalu, menghafal
ceritera-ceritera dari leluhur-leluhur Minahasa yang terkenal dimasa
lalu.
Ahli kerajinan membuat pelaratan rumah tangga seperti menenun kain, mengayam tikar, keranjang, sendok kayu, gayung air.
Golongan
kedua adalah golongan Tona’as yang mempunyai kata asal “Ta’as”. Kata
ini diambil dari nama pohon kayu yang besar dan tumbuh lurus keatas
dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan kayu-kayuan seperti hutan,
rumah, senjata tombak, pedang dan panah, perahu. Selain itu golongan
Tona’as ini juga menentukan di wilayah mana rumah-rumah itu dibangun
untuk membentuk sebuah Wanua (Negeri) dan mereka juga yang menjaga
keamanan negeri maupun urusan berperang.
Sebelum abad ke-7,
masyarakat Minahasa berbentuk Matriargat (hukum ke-ibuan). Bentuk ini
digambarkan bahwa golongan Walian wanita yang berkuasa untuk menjalankan
pemerintahan “Makarua Siouw” (9x2) sama dengan Dewan 18 orang leluhur
dari tiga Pakasa’an (Kesatuan Walak-Walak Purba).
Enam leluhur
dari Tongkimbut (Tontemboan sekarang) adalah Ramubene, suaminya Mandei,
Riwuatan Tinontong (penenun), suaminya Makaliwe berdiam di wilayah yang
sekarang Mongondouw, Pinu’puran, suaminya Mangalu’un (Kalu’un sama
dengan sembilan gadis penari), Rukul suaminya bernama Suawa berdiam di
wilayah yang sekarang Gorontalo, Lawi Wene suaminya Manambe’an (dewa
angin barat) Sambe’ang artinya larangan (posan). Maka Roya (penyanyi
Mareindeng) suaminya bernama Manawa’ang.
Sedangkan enam leluhur
yang berasal dari Tombulu adalah : Katiwi dengan suaminya Rumengan
(gunung Mahawu), Katiambilingan dengan suaminya Pinontoan (Gunung
Lokon), Winene’an dengan suaminya Manarangsang (Gunung Wawo),
Taretinimbang dengan suaminya Makawalang (gunung Masarang), Wowriei
dengan suaminya Tingkulengdengan (dewa pembuat rumah, dewa musik
kolintang kayu) Pahizangen dengan suaminya Kumiwel ahli penyakit dari
Sarangsong.
Sementara itu enam leluhur yang berasal dari Tontewo
(wilayah timur Minahasa) terdiri dari Mangatupat dengan suaminya Manalea
(dewa angin timur), Poriwuan bersuami Soputan (gunung Soputan),
Mongindouan dengan suaminya Winawatan di wilayah Paniki, Inawatan dengan
suaminya Kuambong (dewa anwan rendah atau kabut), Manambeka (sambeka
sama dengan kayu bakar di pantai) dewa angin utara, istrinya tidak
diketahui namanya kemudian istri Lolombulan. Pemimpin panglima perang
pada jaman pemerintahan golongan Walian adalah anak lelaki Katiwei
(istri Rumengan) bernama Totokai yang menikah dengan Warangkiran puteri
dari Ambilingan (istri Pinontoan).
Pada abad ke-7 telah terjadi
perubahan pemerintahan. Pada waktu itu di Minahasa – yang sebelumnya
dipegang golongan Walian wanita - beralih ke pemerintahan golongan
Tona’as Pria. Mulai dari sini masyarakat Matriargat Minahasa yang
tadinya menurut hukum ke-Ibuan berubah menjadi masyarakat Patriargat
(hukum ke-Bapaan)., Menjalankan pemerintahan “Makatelu pitu (3x7=21)"
atau Dewan 21 orang leluhur pria.
Wakil-wakil dari tiga Pakasa’an
Toungkimbut, Toumbulu, Tountowo, mereka adalah ; Kumokomba yang
dilantik menjadi Muntu-Untu sebagai pemimpin oleh ketua dewan tua-tua
“Potuosan” bernama Kopero dari Tumaratas. Mainalo dari Tounsea sebagai
wakil, Siouw Kurur asal Pinaras sebagai penghubung dibantu Rumimbu’uk
(Kema) dan Tumewang (Tondano) Marinoya kepala Walian, Mio-Ioh kepala
pengadilan dibantu Tamatular (Tomohon) dan Tumilaar (Tounsea),
Mamarimbing ahli meramal mendengar bunyi burung, Rumoyong Porong
panglima angkatan laut di pulau Lembe, Pangerapan di Pulisan pelayaran
perahu, Ponto Mandolang di Pulisan pengurus pelabuhan-pelabuhan,
Sumendap di Pulisan pelayaran perahu, Roring Sepang di awaon Tompaso,
pengurus upacara-upacara di batu Pinawetengan, Makara’u (Pinamorongan),
Pana’aran (Tanawangko), Talumangkun (Kalabat), Makarawung (Amurang),
REPI (Lahendong), Pangembatan (Lahendong).
Dalam buku
“Toumbulusche Pantheon” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1894 telah
dikemukakan tentang sistem dewa-dewa Toumbulu yang ternyata mempunya
sistem pemerintahan dewa-dewa seluruh Minahasa dengan jabatan yang
ditangani leluhur tersebut. Pemerintahan golongan Tona’as abad ke-tujuh
sudah punya satu pimpinan dengan gelar Muntu-Untu yang dijabat secara
bergantian oleh ketiga sub-etnis utama Minahasa. Misalnya leluhur Ponto
Mandolang mengatur pelabuhan Amurang, Wenang (Manado) Kema dan Bentenan
dengan berkedudukan di Tanjung Pulisan. Tiap sub-etnis Minahasa mempunya
panglima perangnya sendiri-sendiri tapi panglima perang tertinggi
adalah raja karena dilantik dan dapat diganti oleh dewan tua-tua yang
disebut “Potuosan”.
Dari nama-nama leluhur wanita Minahasa abad
ke-7 seperti Riwuatan asal kata Riwu atau Hiwu artinya alat menenun,
Poriwuan asal kata Riwu alat menenun, Raumbene asal kata Wene’ artinya
padi, menunjukkan Minahasa abad ke-7 telah mengenal padi dan membuat
kain tenun.
oleh: Jessy Wenas
Minggu, 29 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar