Tahun 1645 kepala-kepala walak Minahasa, Umbo (Tonsea), Lonta’an
(Kakaskasen), Lumi (Tomohon), Taulu (Wenang), Kalangi (Ares), Posuma
(Tombariri), Sawij (Jurubahasa), memakai perahu raja Siauw untuk
berlayar ke Ternate. Mereka ingin menjalin kerjasama dengan V.O.C
Belanda. Orang–orang Minahasa ini jelas bukan golongan Walian mereka
adalah kepala-kepala Walak dan Kepala Walak
Minahasa adalah dari
golongan Tona'as.
Perjanjian persahabatan Minahasa dengan Belanda
terjadi tahun 1679, ketika itu Minahasa diwakili Supit, Lontoh, dan
Paat. Perjanjian persahabatan itu kemudian mengalami beberapa kali
perubahan yang akhirnya menempatkan Minahasa sebagai penakluk Belanda.
Antara tahun 1700 dan 1800, Belanda sudah berperan sebagai “Tuan Besar”
di Minahasa.
Mereka mengangkat seorang raja Minahasa dengan
jabatan Komandan Kapiten Urbanus Puluwang. selanjutnya dia disebut “Bapa
Orang Minahasa”. Dia kemudian mengatur perdagangan beras serta pajak
dan memecat Kepala walak antara lain Loho (Tomohon ) Agus Karinda
(Negeri Baru). Dia juga menyewa serdadu Kora-Kora Ternate untuk membakar
Negeri Atep Kapataran di wilayah pemimpin Tondano, Gerrit Wuisang.
Pada
tahun 1801, ada kapal perang yang menembaki benteng Belanda di Manado.
Setelah diselidiki ternyata kapal perang tersebut milik Inggris.
Mengetahui ada konflik antara belanda dan Inggris maka para Walak
Minahasa meminta bantuan Inggris untuk mengusir Belanda. Dalam upaya
mengusir Belanda, Gerrit Wuisang membeli senapan, mesiu, dan meriam dari
Inggris. Memang orang Tondano sejak tahun 1760 sudah tidak mau lagi
hadir dalam pertemuan-pertemuan dengan Belanda di Manado dan sejak
residen Dur, orang Tondano paling keras melawan Belanda juga tidak
mengindahkan aturan-aturan mengenai pajak, wajib militer, dan sistim
perdagangan beras yang dikembangkan pihak Belanda.
Ketika Residen
Dur digantikan Residen Prediger, maka orang Tondano mulai menyiapkan
diri untuk berperang melawan belanda. Dipimpin Tewu (Touliang) dan
Ma’alengen (Toulimambot), orang Tondano merasa yakin bahwa pemukiman
mereka diatas air di muara tepi danau sulit diserang Belanda, tidak
seperti pemukiman walak-walak Minahasa lainnya.
Pada tahun 1806,
benteng Moraya di Minawanua mulai diperkuat dengan pertahanan parit di
darat dan pasukan dengan kekuatan 2000 perahu di tepi danau. Pemimpin
Tondano mengikat perjanjian dengan walak-walak Tombulu, Tonsea,
Tontemboan, dan Pasan-Ratahan untuk mengirimkan pasukan dan bahan
makanan. Pemimpin walak Minahasa lainnya yang membantu antara lain :
Andries Lintong (Likupang), Umboh atau Ombuk dan Rondonuwu (Kalabat)
Manopo dan Sambuaga (Tomohon), Gerrit Opatia (Bantik), Poluwakan
(Tanawangko), Tuyu (Kawangkoan), Walewangko (Sonder), Keincem (Kiawa),
Talumepa (Rumoong), Manampiring (Tombasian), Kalito (Manado), Kalalo
(Kakas), Mokolengsang (Ratahan) sementara pemimpin pasukan Tondano pada
awal peperangan adalah Kilapog, Sarapung dan Korengkeng.
Bulan
Mei 1808, Minahasa sudah melarang Belanda pergi ke pegunungan, tapi pada
tangal 6 Oktober, Belanda membawa pasukan besar yang terdiri dari
serdadu dari Gorontalo, Sangihe, Tidore, Ternate, Jawa, dan Ambon
mendirikan tenda-tenda di Tataaran. Tanggal 23 Oktober, Belanda mulai
menembaki benteng Moraya Tondano dengan meriam 6 pond. Namun, tidak
mereka sangka bahwa akan ada perlawanan dari pihak Tondano. Bahkan,
tenda-tenda Belanda di Tataaran mendapat kejutan setelah pasukan berani
mati pimpinan Rumapar, Walalangi, Walintukan dan Rumambi menyerang di
tengah malam. Pada bulan November, pimpinan utama Belanda Prediger
terluka kepalanya akibat terkena tembakan di Tataaran. Dia kemudian
digantikan wakilnya Letnan J. Herder. Perang kemudian bertambah panas
yang kemudian ditandai dengan perang darat dan perahu. Pada tahun 1809,
pemimpin tondano mendatangkan perahu Kora-Kora dengan memotong logistik
bahan makanan dari Kakas ke Tondano. Pada tangal 14 April, pasukan Jacob
Korompis menyerang tenda-tenda Belanda di Koya. Serangan yang dilakukan
malam hari itu, Jacob berhasil merebut amunisi dan senjata milik
Belanda.
Tanggal 2 Juni 1809, Belanda melakukan perjanjian dengan
kepala-kepala walak Minahasa lainnya. Kemudian pasukan–pasukan yang
bukan orang Tondano mulai meninggalkan Benteng Moraya karena bahan
makanan mulai berkurang. Dan yang tertinggal adalah pasukan dari Tomohon
dan Kalabat.
Penulis L. Mangindaan dalam bukunya “Oud Tondano”
terbitan tahun 1871 pada halaman 368-369 menulis bahwa setelah Benteng
Moraya jadi sunyi, sudah tidak terdengar lagi teriakan-teriakan perang
dan bunyi–bunyi letusan senjata. Lalu pada suatu malam, Belanda
menyerang Benteng itu dan membakar rata dengan tanah. Serangan itu
dilakukan pada malam hari tanggal 4 Agustus dan pagi 5 Agustus 1809.
Dalam penyerangn tersebut, Belanda kemudian membumi hanguskan Benteng
Morya Tondano. Pada bulan September 1909 (bundel Ternate nomor 1160),
Belanda baru mengetahui bahwa pimpinan utama dari perang di Tondano
adalah Tewu (Touliang), Lontho (Kamasi-Tomohon), Mamahit (Remboken),
Matulandi (Telap) dan Theodorus Lumingkewas (Touliang). Mereka adalah
kepala-kepala walak yang disebut “Mayoor” atau Tona’as perang.
Minggu, 29 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar